Akhlak Seorang Musafir Haji: Menjaga Lisan, Hati, dan Niat


 

Oleh Cece Setiawan, S.E.I (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. karang Tinggi)

Perjalanan haji adalah sebuah safar yang bukan hanya menguji fisik, tapi juga menguji keteguhan akhlak dan ketulusan hati. Ibadah ini tidak hanya berisi rangkaian ritual yang harus ditunaikan secara teknis, tetapi juga merupakan momen penyucian diri yang mencerminkan kualitas keimanan dan akhlak seorang muslim. Maka dari itu, penting bagi setiap jamaah haji untuk memperhatikan akhlak selama di perjalanan dan di tanah suci, agar tidak hanya mendapatkan gelar "haji", tetapi juga memperoleh pahala yang sempurna dan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali.


Menjaga Lisan dari Ucapan yang Sia-Sia dan Menyakiti

Lisan adalah anggota tubuh yang sangat mudah tergelincir dalam dosa. Saat seseorang menjadi musafir, terutama dalam ibadah haji, banyak kondisi yang bisa memicu emosi, seperti kelelahan, cuaca panas, atau antrean yang panjang. Dalam kondisi seperti ini, menjaga lisan menjadi keutamaan utama. Jangan sampai lisan digunakan untuk mengeluh berlebihan, mencela sesama, atau mengeluarkan kata-kata kasar.

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa siapa yang menunaikan haji dan tidak mengucapkan kata-kata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia akan kembali seperti bayi yang baru dilahirkan. Maka, menjaga lisan dari ucapan yang buruk merupakan bagian dari menjaga kemurnian ibadah haji itu sendiri.


Menyucikan Hati dari Niat dan Perasaan Negatif

Ibadah haji harus dilandasi dengan niat yang murni hanya karena Allah SWT. Dalam perjalanan panjang ini, banyak tantangan yang bisa mengganggu keikhlasan, seperti rasa bangga, merasa lebih suci, atau bahkan emosi terhadap sesama jamaah. Menjaga hati agar tetap bersih dari riya’, hasad, dan amarah menjadi tugas yang penting bagi seorang musafir haji.

Salah satu cara menyucikan hati adalah dengan memperbanyak zikir, memperdalam tafakur atas setiap peristiwa yang terjadi, dan mengingat bahwa setiap ujian dalam perjalanan adalah bentuk latihan kesabaran dan penguatan iman.


Kesabaran dalam Antrean dan Keramaian

Haji adalah ibadah massal. Jutaan umat Islam dari berbagai negara berkumpul dalam satu waktu dan tempat, dengan latar belakang budaya, bahasa, dan karakter yang beragam. Dalam suasana seperti ini, kesabaran adalah kunci utama. Antrean di kamar mandi, bus, tenda, atau saat thawaf dan sai, semuanya membutuhkan jiwa besar dan pengendalian diri.

Jamaah hendaknya menjadikan antrean dan keramaian ini sebagai sarana latihan diri untuk mengutamakan adab, bukan sekadar menuntut hak pribadi. Kesabaran tidak hanya menahan diri dari marah, tapi juga menahan diri dari tindakan egois yang bisa merugikan orang lain.


Toleransi dan Peduli terhadap Sesama Jamaah

Sikap saling memahami dan toleransi sangat diperlukan dalam lingkungan jamaah haji. Kita tidak hanya beribadah sendiri, melainkan menjadi bagian dari sebuah komunitas ibadah global. Oleh sebab itu, saling bantu, memberi jalan, menguatkan sesama, dan mendahulukan orang lain dalam kebaikan merupakan bentuk akhlak mulia yang mencerminkan kesempurnaan haji.

Seorang musafir haji hendaknya mampu menahan diri dari keinginan untuk menyalahkan atau meremehkan jamaah lain. Berbaik sangka terhadap kesalahan kecil, memberi nasihat dengan lembut jika diperlukan, dan tetap menjaga ukhuwah islamiyah menjadi pondasi penting dalam menumbuhkan harmoni dalam ibadah.


Menjauhi Hal-Hal yang Merusak Pahala Haji

Salah satu kesalahan yang sering terjadi dalam ibadah haji adalah ketika seseorang secara fisik melaksanakan seluruh rukun dan wajib haji, tetapi secara batin ia lalai dalam menjaga akhlaknya. Hal ini bisa mengurangi, bahkan membatalkan pahala dari ibadah yang begitu berat ini.

Menggunjing, menyombongkan diri, menyakiti sesama jamaah, atau mengeluh terus-menerus termasuk perbuatan yang bisa merusak nilai ibadah haji. Allah SWT menginginkan haji yang bersih dan kembali kepada-Nya dalam keadaan suci. Maka, menjaga adab lahir dan batin menjadi bekal utama untuk memastikan ibadah haji diterima dengan sempurna.


Penutup

Akhlak seorang musafir haji adalah cerminan dari keimanan yang sejati. Menjaga lisan, menyucikan hati, bersabar dalam ujian, dan berakhlak mulia kepada sesama bukan hanya menjadikan perjalanan haji penuh berkah, tetapi juga memperindah makna ibadah itu sendiri. Ketika seorang haji mampu membawa pulang akhlak yang lebih baik dari tanah suci, itulah pertanda bahwa hajinya tidak hanya diterima, tetapi juga telah mengubah dirinya menjadi lebih dekat dengan Allah SWT.

LihatTutupKomentar