Mengenal Spiritualitas Gen Z: Antara Iman, Teknologi, dan Media Sosial

 


Nama : Fenti Aisyah, S.H.I

Unit Kerja : Kanto Urusan Agama (KUA) Kec. Talang Empat

Penyuluh Agama Islam KementerianAgama Kabupaten Bengkulu Tengah


Generasi Z, atau yang sering disebut sebagai Gen Z, merupakan kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka tumbuh di era digital yang serba cepat dan terkoneksi. Teknologi dan media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka, termasuk dalam aspek spiritualitas dan keimanan. Hal ini memunculkan berbagai tantangan sekaligus peluang dalam menjalankan kehidupan beragama.


Di satu sisi, akses informasi yang mudah memungkinkan Gen Z untuk menggali ilmu agama dengan lebih luas. Mereka bisa mengikuti kajian secara daring, membaca artikel keagamaan, atau menonton ceramah dari ulama di berbagai platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Dengan sekali klik, mereka bisa mendapatkan berbagai perspektif tentang agama yang sebelumnya sulit dijangkau oleh generasi sebelumnya.


Namun, derasnya arus informasi juga menghadirkan tantangan tersendiri. Tidak semua konten keagamaan yang tersebar di media sosial memiliki sumber yang kredibel. Banyaknya informasi yang beredar tanpa filter membuat sebagian remaja Gen Z bingung dalam memahami ajaran agama yang benar. Bahkan, ada yang terjebak dalam pemahaman yang sempit atau ekstrem akibat mengikuti sumber yang kurang bertanggung jawab.


Selain itu, media sosial juga membentuk cara baru dalam mengekspresikan keimanan. Generasi Z tidak hanya menjalankan ibadah secara konvensional, tetapi juga berbagi pengalaman spiritual mereka di dunia maya. Misalnya, mereka membuat konten tentang perjalanan hijrah, refleksi kehidupan, hingga berbagi kutipan inspiratif dari kitab suci. Bagi sebagian orang, ini menjadi cara untuk menyebarkan kebaikan dan mengajak orang lain untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.


Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada pula dampak negatif dari ekspresi spiritual di media sosial. Beberapa individu justru terjebak dalam "religiusitas performatif", yaitu ketika seseorang menunjukkan sisi religiusnya bukan karena ketulusan, tetapi demi citra atau validasi dari orang lain. Hal ini bisa berisiko membuat ibadah lebih berorientasi pada pujian manusia ketimbang hubungan personal dengan Tuhan.


Di tengah tantangan tersebut, penting bagi Gen Z untuk membangun pemahaman agama yang kuat dengan dasar ilmu yang benar. Mereka perlu belajar dari sumber yang terpercaya, seperti kitab suci, ulama yang kredibel, dan komunitas keagamaan yang positif. Selain itu, berdiskusi secara terbuka dengan teman atau mentor spiritual juga bisa membantu mereka dalam memahami agama dengan lebih baik.


Teknologi sendiri bukanlah musuh dalam beragama, tetapi alat yang bisa digunakan untuk memperkuat iman jika dimanfaatkan dengan bijak. Ada banyak aplikasi pengingat ibadah, e-book keagamaan, hingga podcast spiritual yang bisa membantu Gen Z dalam memperdalam keyakinan mereka. Dengan cara ini, teknologi justru bisa menjadi sarana yang mempererat hubungan dengan Tuhan.


Keberagaman dalam Gen Z juga menjadi aspek penting dalam spiritualitas mereka. Dibandingkan generasi sebelumnya, mereka lebih terbuka terhadap perbedaan dan memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap pemeluk agama lain. Ini merupakan modal penting dalam menciptakan harmoni dan persatuan di tengah masyarakat yang semakin plural.


Pada akhirnya, spiritualitas Gen Z tidak hanya sekadar menjalankan ritual keagamaan, tetapi juga tentang bagaimana mereka menemukan makna hidup, memperkuat hubungan dengan Tuhan, dan menjalankan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan keseimbangan antara iman, teknologi, dan media sosial, mereka bisa menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga bijak dalam beragama.


Kesimpulannya, tantangan dan peluang dalam menjalani kehidupan spiritual di era digital adalah sesuatu yang nyata bagi Gen Z. Dengan kesadaran yang tinggi, pemanfaatan teknologi yang bijak, dan bimbingan yang tepat, mereka dapat menjalankan kehidupan beragama yang lebih bermakna tanpa kehilangan esensi spiritualitas yang sejati.

 


LihatTutupKomentar