oleh : Ustad Elemen Turis, S.Sos.I
Peristiwa qurban bermula dari
mimpi Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya yang
sangat ia cintai, Nabi Ismail. Dalam ketaatan mutlak, tanpa ragu, Ibrahim siap
melaksanakan perintah tersebut, dan Ismail pun menerimanya dengan penuh
keikhlasan. Hingga akhirnya Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan
sembelihan sebagai bentuk penerimaan atas ketulusan keduanya.
Inilah inti dari tauhid—menyandarkan
segalanya kepada Allah, mendahulukan perintah-Nya di atas segalanya, termasuk
hal yang paling dicintai. Tauhid bukan sekadar mengucap "Lâ ilâha illâ
Allâh", tetapi tentang sikap hati yang teguh bahwa hanya Allah
satu-satunya yang layak ditaati sepenuhnya.
Tuntunan Qurban: Niat, Tata Cara,
dan Distribusi
Qurban merupakan ibadah sunnah
muakkad bagi mereka yang mampu. Pelaksanaannya dimulai dari niat yang ikhlas,
bukan karena ingin dipuji atau sekadar ikut-ikutan. Hewan qurban harus memenuhi
syarat—sehat, cukup umur, dan tidak cacat—dan disembelih dengan menyebut nama
Allah.
Tata cara qurban juga
mencerminkan nilai kehati-hatian dan keberkahan. Mulai dari penyembelihan yang
dilakukan dengan lembut, mematuhi syariat, hingga distribusi daging yang adil.
Dalam Islam, daging qurban dibagikan kepada tiga golongan: sebagian untuk yang
berqurban, sebagian untuk disedekahkan, dan sebagian lainnya untuk dibagikan
kepada fakir miskin.
Aspek Sosial: Qurban dan Kepedulian
Salah satu dimensi penting dari
qurban adalah aspek sosialnya. Daging qurban bukan hanya ritual, tetapi cara
nyata untuk menjangkau mereka yang sering tidak terjamah: fakir miskin, anak
yatim, janda, lansia, dan mereka yang tinggal di pelosok. Hari raya ini menjadi
saat yang paling membahagiakan bagi mereka yang jarang menikmati daging dalam
keseharian.
Karena itu, edukasi tentang
qurban perlu menekankan pentingnya keadilan dan sasaran penerima yang tepat.
Bukan sekadar pembagian simbolis, tapi distribusi yang benar-benar menyentuh
mereka yang membutuhkan.
Inovasi Sosial: Praktik Qurban yang
Relevan
Di tengah dinamika zaman,
praktik qurban juga mengalami penyesuaian tanpa meninggalkan nilai syar’i.
Beberapa pendekatan yang bisa diterapkan, antara lain:
·
Dana qurban online:
memfasilitasi masyarakat luas, termasuk anak muda, untuk berpartisipasi dalam
qurban meski dengan dana terbatas. Kolaborasi dalam bentuk qurban patungan juga
menjadi sarana gotong royong yang efektif.
·
Pesantren darurat dan wilayah rawan
pangan: menjadi lokasi prioritas penyaluran hewan atau daging qurban.
Ini bukan hanya ibadah, tapi juga bagian dari dakwah sosial dan pemberdayaan
masyarakat.
·
Kerja sama dengan rumah potong hewan
yang syar’i: memastikan proses penyembelihan dan penyaluran dilakukan
sesuai tuntunan Islam, aman secara kesehatan, dan efisien dalam distribusi.
Komitmen Ikhlas dan Jiwa Tangguh
Dari ibadah qurban, kita
diajarkan makna keikhlasan sejati: memberi tanpa mengharap balasan dunia,
berkorban bukan hanya materi, tapi juga waktu, tenaga, dan kenyamanan demi taat
kepada Allah. Eid al-Adha menanamkan karakter tangguh, sabar, dan rela berjuang
demi nilai-nilai kebaikan.
Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an:
“Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya...”
(QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini menegaskan bahwa nilai
utama qurban bukan pada fisik sembelihannya, tetapi pada ketakwaan dan
ketulusan pelakunya. Maka, di hari yang suci ini, semoga kita tidak hanya
menyembelih hewan, tapi juga ego, keserakahan, dan rasa acuh terhadap
sesama—digantikan dengan jiwa yang penuh tauhid, rela berkorban, dan siap
memberi manfaat bagi lingkungan.