Islam dan Inklusi: Membangun Masyarakat yang Ramah Difabel Sesuai Nilai Syariah

 


Oleh : Suripah, S.Kom.I (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Talang Empat)


Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap setiap manusia tanpa memandang kondisi fisik maupun mentalnya. Dalam pandangan Islam, difabel adalah bagian integral dari masyarakat yang memiliki hak dan martabat yang sama seperti manusia lainnya. Konsep inklusi dalam Islam mengajarkan bahwa setiap individu, termasuk difabel, berhak mendapatkan perlakuan yang adil, penghormatan, dan kesempatan yang sama untuk berkembang.

 

Allah SWT berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4). Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia, terlepas dari kekurangan fisik atau mentalnya, adalah ciptaan Allah yang sempurna sesuai kehendak-Nya. Dengan demikian, umat Islam diajarkan untuk menghormati dan memperlakukan difabel dengan penuh kasih dan keadilan.

 

Rasulullah SAW juga telah memberikan teladan bagaimana memperlakukan difabel dengan penuh hormat dan perhatian. Salah satu contohnya adalah ketika beliau memperlakukan sahabat Abdullah bin Umm Maktum, yang merupakan seorang tuna netra, dengan penuh kehangatan dan memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjadi muazin dan bahkan pemimpin shalat di Madinah saat Rasulullah SAW bepergian.

 

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tidak ada dosa atas orang buta, orang pincang, dan orang sakit (jika tidak ikut berperang)” (QS. Al-Fath: 17). Ayat ini menunjukkan bahwa Islam memahami keterbatasan yang dimiliki difabel dan memberikan keringanan hukum syariah kepada mereka, tanpa mengurangi kedudukan mereka sebagai bagian penting dalam masyarakat.

 

Islam mendorong terbentuknya masyarakat yang inklusif, yaitu masyarakat yang membuka ruang seluas-luasnya bagi semua kalangan, termasuk difabel, untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial, pendidikan, ekonomi, dan keagamaan. Tidak boleh ada diskriminasi yang menyebabkan difabel terpinggirkan atau diperlakukan tidak adil. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim).

Membangun masyarakat ramah difabel sesuai nilai syariah juga mencakup penyediaan aksesibilitas yang memadai, seperti fasilitas publik yang dapat diakses oleh difabel serta program-program pemberdayaan yang memungkinkan mereka untuk mandiri dan produktif. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan yang menjadi inti ajaran Islam.

 

Kesetaraan hak dan pemberdayaan difabel juga perlu didukung oleh perubahan cara pandang masyarakat. Islam mengajarkan agar umatnya tidak merendahkan atau meremehkan siapa pun. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain” (QS. Al-Hujurat: 11). Ayat ini menekankan pentingnya menghormati dan menjaga martabat setiap orang.

 

Dalam konteks dakwah, umat Islam juga harus menyampaikan pesan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap difabel. Dakwah yang inklusif akan menumbuhkan kesadaran kolektif agar masyarakat lebih peduli terhadap kebutuhan saudara-saudara difabel, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, tempat ibadah, maupun lingkungan kerja.

 

Islam memandang difabel bukan sebagai beban, melainkan sebagai amanah yang harus dirangkul dengan rasa empati dan tanggung jawab. Dengan membangun masyarakat yang ramah difabel, umat Islam tidak hanya menjalankan nilai-nilai syariah tetapi juga mewujudkan masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan penuh kasih.

 

Akhirnya, semangat inklusivitas dalam Islam adalah bentuk nyata dari rahmat Allah SWT yang diperintahkan untuk ditebarkan kepada seluruh manusia. Masyarakat yang ramah difabel akan menjadi cerminan dari masyarakat Islam yang beradab dan sesuai dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin.

 


LihatTutupKomentar